Kali ini ada sebuah cerpen singkat karangan LEK YEN, hha yang berhasil menduduki Juara III tingkat Jawa Tengah. :D, (republish,hhe)
Dengan langkah gontai, kuayunkan pasti setiap jengkang langkah kaki ini menyusuri setiap lorong kehidupanku yang sunyi . Entah apa yang ada dibenakku saat ini. Seolah ada sebongkah batu besar yang tengah mengganjal kepalaku. Dan tugasku sekarang adalah aku harus bisa memecah bongkahan batu besar itu menjadi kepingan-kepingan kecil dan menemukan sosok terang sang mutiara yang setidaknya mampu mendamaikan kepiluanku kini. Sulit memang. Namun itulah yang tengah aku alami kali ini. Problema kehidupan.
Setiap hari, setiap pulang sekolah satu hal yang sering kutemui di rumah. Melihat bapakku tengah ngerokin perut kodok. Selain itu tiada lagi yang dilakukannya. Adapun mungkin itu merupakan suatu hal yang setali tiga uang. Sama saja. Tidak berguna dan sia-sia. Kadang bapak hanya mengganti obyek binatang yang dianiayanya dari kodok menjadi cicak. Makhluk nggak jelas berwarna ijo yang sering loncat-loncat kayak pocongan ini merupakan makhluk yang sering dijadikan bapak sebagai obyek kemusyrikan. Sedangkan sang cicak, makhluk mungil yang kata Charles Darwin merupakan makhluk yang gagal berevolusi jadi buaya ini adalah obyek pelampiasan bapak jika gagal mendapatkan wangsit nomor dari perut Sang Princess Frog. Jangan tanyakan kenapa bapakku melakukan kegilaan ini. Satu-satunya alasan adalah apalagi kalau bukan untuk mencari keberuntungan dengan harapan bisa memperoleh bayangan angka yang muncul dari balik abdomen hewan-hewan tersebut. Tepatnya “ANGKA TOGEL”.
Memang konyol kelakuan bapakku yang satu ini. Tak habis pikir kami sekeluarga dibuatnya. Kami tak menyangka bapakku yang dulu bisa dikatakan alim kini telah menjadi sesosok ayah yang matrealistis dan musyrik. Entah apa yang telah merubahnya. Kadang aku berpikir, mungkinkah ini semua terjadi karena kejadian beberapa tahun silam? Jujur kalau mengingat fenomena itu aku merasa sedikit menyesal. Kisah ini aku alami saat aku masih duduk di bangku kelas enam SD. Pada waktu itu dikampungku memang sedang trend-trend nya yang namanya “TOGEL”. Suatu ketika, kami sekeluarga sedang kongkow-kongkow sambil nonton TV di ruang keluarga. Seperti biasa bapak dan ibu jika sedang berkumpul seringkali memperdebatkan masalah perekonomian keluarga.
“Pak, sampeyan itu hla mbok ya coba cari kerjaan gitu lho.
Lihat saja pak, keuangan keluarga kita ini untuk akhir tahun ini udah mimpes.Sedangkan kebutuhan perekonomian keluarga ini kian lama semakin menjerat leher. Bayangin saja Pak, SPP Nawa udah nunggak selama 3 bulan,Pak! Apalagi tahun depan si Nawa mau masuk SMP.Pasti kita butuh biaya sangat banyak, Pak!” keluh ibuku dengan raut pilu.
“Owalah Bu-Bu, lha wong Bapak ini kan cuma lulusan SMP itupun ijazah Bapak uda hilang nggak tahu entah kemana. Pengin cari kerja apaan lagi to Bu! Jadi Bos? Atau pejabat? Mana mungkin?!! Apalagi buruh pabrik? Mereka nggak bakal nerima Bapak yang uda tua gini Bu!”
Lagi-lagi alasan nggak mutu itu yang selalu terlontar dari mulut manis Bapak. Dan itu pasti hanya dalih karena dia malas bekerja, pikirku dalam hati.
“Kerjaan kan nggak harus yang enak Pak!Nguli kek kan juga nggak apa-apa, Pak!! Yang penting ada yang buat bantu ngebiayai pendidikan anak kita. Supaya kelak dia itu bisa jadi orang sukses, nggak kayak kita yang seumur hidup cuma mlarat! Gini-gini Ibu itu sekolah cuma sampai SD, Pak! Itupun nggak sampai lulus, tapi Ibu tetep usaha gimana caranya tetap bisa mempertahankan keluarga ini,Pak. Meskipun ibu cuma sebagai tukang cuci, tapi yang penting itu cukup untuk kebutuhan makan kita sehari-hari. Kenapa Bapak nggak usaha kerja mbecak kayak dulu lagi???!! Setidaknya kalau Bapak mau ikhtiar, mungkin itu bisa sedikit mendongkrak pemenuhan kebutuhan untuk keluarga ini.”
“ Lha kan ibu tahu sendiri, Bapak ini punya penyakit asma yang rawan kambuh setiap saat!! Kalau itu asma kumat, yang repot pasti kan Ibu juga. Udah ah!! Males ndengerin Ibu ngoceh. Mendingan Bapak sholat nyenyuwun sama Gusti Allah supaya diberi rejeki!”bantah bapakku.
Bapakku pada waktu itu memang masih alim-alimnya tapi sifatnya yang pemalas dan selalu melebay-lebaykan penyakit asmanya, terkadang membuatku muak, tak terkecuali bagi Ibu.”Huh!!! suami macam apa itu, bisanya cuma nggandul sama istri”, gerutuku dalam hati. Ya cuma dalam hati sebab aku sadar betul aku ini memang masih kecil dan belum layak ikut campur masalah orang dewasa, sekalipun mereka orangtuaku sendiri.
“Gusti Allah nggak bakal nurunin hujan duit, Pak! Kalau hambanya nggak pernah mau ikhtiar!!” balas ibuku jengkel sembari meninggalkanku dan bapak menuju dapur.
Aku tahu ibu muak dengan semua sangkalan bapak. Begitu pun aku.
Selang beberapa lama kemudian, bapak mengambil secarik kertas kumal dan pulpen dari atas meja. Terlihat olehku, raut bapak yang sedang berpikir sambil sesekali menghitung-hitung sesuatu yang nggak jelas. Tiba-tiba bapak menegurku.
“Wa, berapa angka favoritmu, nduk??”
“Buat apa, Pak? Lagian kenapa Bapak tiba-tiba tanya angka kesukaanku? “ tanyaku penuh selidik.
“Sssstttsstttt, udah kamu anak kecil diam aja!Kamu tinggal ngomong aja? Siapa tahu beruntung! Toh nanti kamu juga yang seneng kalo nomornya tembus! Ini kan juga ikhtiar namanya!” paksa bapakku. Aku sama sekali belum paham maksud bapak.
Sebenarnya aku malas menanggapi pertanyaan bapak yang amat sangat tidak penting itu, tapi apa daya aku belum berani melawan bapak. Seolah budaya ngomong “ hanya yang tua yang boleh bicara” seperti iklan di TV-TV itu sudah mencemari sebagian isi otak bapakku. Apa boleh buat, aku belum mampu tuk berkutat, yang bisa kulakukan saat ini hanyalah sami’na wa atho’na, ‘ kami dengar dan kami patuh’. Akhirnya akupun asal nyeplosin tiga angka sesuka hatiku. Nggak peduli angka itu digunakan untuk apa.
“103, Pak”, jawabku singkat padat dan tak berisi
“Satu angka lagi, nduk!” pinta bapak.
“ Nggak tau ah pak!”balasku ketus seraya pergi menuju kamar.
Bapak hanya gedek-gedek melihat tingkahku dan aku tak memperdulikannya. Mungkin aku telah di judge nya sebagai anak durhaka. Bapak kembali menekuni angka-angka yang kusebutkan tadi. Selang beberapa lama dari balik pintu kamar, kudengar bapak menyebutkan kalimat final.
” 1503, yes!Bismillahirrahmanirrahiim.”
Keesokan harinya, prahara itu benar-benar datang. “2903” itu adalah nomor togel yang tembus malam itu dan ternyata dua angka terakhir dari nomor togel yang aku ceploskan, ‘03’ jadi nomor keberuntungan bapakku malam itu juga. Aku sama sekali nggak tahu kalau ternyata bapak telah menyalahgunakan angka favoritku dengan menggunakannya untuk memasang togel. Yang jelas aku merasa menyesal melakukan itu. Aku merasa turut berdosa.
Dari tembusan togel tersebut akhirnya bapak mendapat reward sebesar dua juta rupiah. Pada waktu itu nominal uang segitu sudah amat besar bagi keluarga mlarat seperti kami. Sebenarnya ibu tak mau menerima uang haram itu. Namun karena kepepet dan dipaksa bapak, akhirnya ibu dengan berat hati mau menerima uang judi yang berkedok togel itu.
Kadang aku berpikir tentang hukum cinta dan benci Allah kepada hambanya. Pada hakekatnya sikap orang yang mencintai sesuatu itu pasti akan selalu melindungi, menuruti permintaan,dan membela, sedangkan sikap seseorang yang membenci sesuatu itu akan cenderung menghancurkan dan menolak segala permintaannya. Jika Allah mencintai orang beriman, harusnya Allah itu menuruti segala permintaan hambanya dan melindunginya. Dan jika Allah membenci orang-orang kafir harusnya Allah menolak permintaannya dan menghancurkannya. Tapi pada realitasnya, kenapa Allah justru membiarkan kemusyrikan hambanya dan malah membiarkan bapakku yang kafir memperoleh rejeki dengan cara yang haram? Pertanyaaan-pertanyaan itu sering kali bergelayut di ubun-ubun kepalaku sampai-sampai aku sering meragukan eksistensi Tuhan.
Setelah hari keberuntungan itu berlalu, kian lama, bapakku semakin tuman alias kecanduan untuk terus memasang togel. Padahal ibu berulang kali mengingatkan bapak agar tidak memasang togel lagi, haram katanya. Namun wejangan ibu yang pernah diutarakan pada bapak sama sekali tak diindahkannya. Semuanya dianggap angin lalu.
“Duren-duren, roti-roti. Biyen-biyen, saiki-saiki” itulah prinsip hidup bapakku sekarang. Bahwa segala apa yang berlalu itu biarlah berlalu. Yang penting bapak enjoy dengan hidupnya yang sekarang yang penuh dengan kemusyrikan.
Satu hal yang sering membuat hatiku mangkel adalah bapak dan para tetangga selalu bertanya kepadaku tentang nomor togel yang kira-kira akan tembus pada malam-malam tersebut.
Semua orang di kampungku memang sudah gila oleh budaya mata duitan ini. Yang bisa kulakukan hanya diam seribu bahasa setiap ditanya oleh mereka. Meskipun aku harus menanggung resiko selalu dipisuhi oleh bapak. Tapi aku tetap teguh dengan pendirianku. Aku nggak mau dijadikan lagi obyek kemusyrikan bapakku. Akhirnya bapak melampiaskan kejengkelannya dengan menggantikanku dengan kodok dan cicak. Konon katanya kodok dan cicak adalah makhluk pembawa keberuntungan. Setiap malam yang dilakukan bapak hanya ngerokin perut kodok atau cicak. Namun aku bersyukur, aku akhirnya bisa terbebas tanpa mendengar lagi ocehan bapak. Beruntung bapakku tidak sampai hati mengerok perutku berharap memperoleh angka keberuntungan dariku lagi.
Tiga tahun telah berlalu, namun sindrom togel nya bapakku tak jua sirna. Sampai suatu ketika ibu harus bekerja ekstra untuk mendapatkan uang lebih agar bisa menyekolahkanku ke SMA sehingga akhirnya ibu berinisiatif untuk jualan jajanan keliling kampung tiap sore hari. Begitu besar kegigihan ibu. Dialah semangat dan motivasiku untuk terus bisa berprestasi. Aku salut dan bangga bisa mempunyai sosok ibu yang rela berkorban demi memperjuangkan kemerdekaan pendidikan anaknya. Setiap hari kedua tangan keriput ibu selalu menggotong keranjang berisi makanan. Bahkan masih ditambah lagi beban bakul berisi nasi yang harus dipikulnya dibalik punggungnya yang telah renta. Sementara itu aku membantu ibu membawakan sebuah keranjang berisi minuman yang telah dibungkus. Meskipun hujan turun deras, ibuku tetap bersikeras untuk tetap jualan. Kerja sebagai pedagang keliling tak semudah yang aku duga, berbagai penolakan seringkali terjadi. Relitas memang tak selalu sepadan dengan perjuangan.
Suatu ketika ,sepulangnya aku dan ibu dari berdagang, kami mendapati ada seseorang yang telah bertamu ke rumahku. Sepertinya aku tidak asing dengan wajah orang itu, namun tak begitu jelas karena aku hanya melihatnya dari kejauhan, sedangkan orang tersebut telah masuk ke dalam mobilnya dan pergi seketika itu juga. Karena penasaran akhirnya aku dan ibu bertanya kepada bapak, siapa gerangan yang tengah berkunjung ke rumah ini. Bapak berkata bahwa orang itu adalah pak Jemy, orang yang tidak lain dan tidak bukan adalah seorang kristiani yang sering gencar melakukan misionaris kepada rakyat miskin. Kata bapak, pak Jemy mau memberikan bapak pekerjaan dan menjamin sekolahku asalkan bapak mau masuk agama Kristen. Spontan ibu langsung menolak tawaran itu mentah-mentah dan melarang bapak untuk masuk Kristen. Sebab ibu sendiri itu adalah salah satu tokoh di kampung kami yang dipercaya oleh para tetanga untuk mengajar mengaji. Jika hal itu terjadi pasti itu akan menjadi imej buruk bagi keluarga. Bapak berusaha meyakinkan ibu tapi ibu tetap teguh dengan pendiriannya. Jujur akupun sudah pastinya menolak tawaran itu, meskipun iming-iming itu begitu menggiurkan. Namun aku sendiri saja terkadang masih meragukan tentang eksistensi Tuhan yang Esa apalagi ini harus dihadapkan dengan eksistensi Tuhan ada tiga, trinitas.
Dobelisasi kerja yang dilakukan ibu ternyata belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kian lama kian membuncah. Akhirnya aku dan ibu mencoba untuk melakukan tripelisasi kerja. Setiap pagi-pagi buta sekitar jam 3 hingga jam setengah 6 pagi, aku dan ibu selalu berbondong-bondong pergi ke kuburan. Ibarat njajah deso milangkori, berbagai kuburan sudah pernah kami jelajahi, Mulai dari kuburan Krapyak, kuburan Sunan Kuning, kuburan Berguto, dan kuburan Subali, itu semua sudah pernah kami tekuni.Jangan salah mempersepsikan apa yang kami kerjakan di kuburan tersebut dengan mengasumsikan bahwa kami akan memutilasi mayat seperti yang dilakukan Sumanto atau menganggap kami akan mengambil tali pocong dan menggunakannya sebagai pesugihan atau bahkan membongkar peti mati orang-orang Cina untuk diambil perhiasannya. Itu tak mungkin kami lakukan sebab kami ke kuburan itu hanya bermodalkan tas kresek dan sepeda ontel. Yang kami lakukan di kuburan adalah memunguti kembang-kembang kamboja itu dan menjualnya. Setiap 1 kg bunga kamboja fresh dihargai tiga ribu rupiah, sedangkan 1 kg bunga kamboja kering dihargai senilai 15 ribu rupiah.
Aku tak tahu untuk apa nantinya bunga kamboja itu akan digunakan yang penting kami bisa menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seringnya aku ikut ibu pergi ke kuburan menjadikanku bermental pemberani dalam artian tak takut dengan yang namanya dedemit dan kawan-kawannya, sebab selama disana aku dan ibu tak pernah menemui hal ghaib seperti itu. Adanya orang yang meninggal dunia dan di kubur di tempat yang kami singgahi setiap harinya justru menjadi kebahagiaan bagi kami sebab biasanya di sekitar pemakaman orang yang mati tersebut terdapat banyak berserakan gelas bekas air mineral yang akhirnya bisa kami punguti untuk dijual kembali, memang terkesan seperti bersenang-senang diatas penderitaan orang lain. Namun karena realitas hiduplah akhirnya mental pemulung kami terbentuk.
Pada hari Minggu yang cerah aku menghabiskan waktuku sampai siang hari di kuburan sendirian sebab ibu harus bekerja kembali ke rumah majikannya sekitar jam tujuh pagi. Saat itu kebetulan ada orang yang meninggal dunia dan aku akan memunguti gelas-gelas bekas air mineral itu setelah para peziarah sudah pergi meninggalkan tempat pemakaman. Sebab aku merasa canggung jika melakukan pekerjaan ini dalam keramaian. Setelah menunggu sekian lama, akhirnya mereka pergi. Hanya seorang saja yang masih tersisa disana. Seorang pria muda yang tengah duduk disamping nisan yang bertuliskan”Sudarman”. Nampaknya dia tengah merenungi kematian orang yang telah dikubur itu dengan sesekali meneteskan air mata. Entah apa yang ada dibenaknya saat itu. Sementara itu aku yang sedari tadi mengamati orang tersebut dari jarak 2 meter, gelisah sendiri karena hari mulai sore sedangkan orang itu tak kunjung pergi. Akhirnya kuberanikan diriku untuk meminta ijin padanya.
“Assalamu’alaikum, ehhm kak maaf sebelumnya. Begini, ehhmm bolehkah saya memunguti gelas-gelas bekas dan bunga kamboja disini??”tanyaku ragu.
“Walaikumsalam deg, silahkan saja. Asalkan jangan kau punguti pula bunga mawar melati yang ditaburkan dimakam kakakku ini.” Jawabnya sambil tersenyum
“Oowh, makasih ya kak. Eehhm, kalo boleh saya ngasih saran sebaiknya kakak jangan larut dalam kesedihan ini. Toh ini semua kan udah jadi sunatullahnya hidup. Orang yang hidup pasti akan mati”, sarankan dengan sedikit menggurui
“ Aku tidak sedang larut dengan kesedihan ini namun aku hanya mencoba menghayati tentang makna kematian, ternyata orang yang sudah mati itu pasti tidak bisa melakukan apa-apa lagi dan sudah tak bisa beramal dan bertobat. Aku merasa sedih karena aku merasa gagal menyelamatkan kakakku yang terkena arus kristenisasi akibat virus cinta. Padahal aku telah berulang kali berusaha mengingatkan dan mencoba menunjukkan kebenaran Islam kepada kakakku itu. Sampai akhirnya dia meninggal karena kecelakaan sebelum ia menerima kebenaran itu”, jawabnya putus asa.
“Jujur aku merasa salut dengan Anda kak, sebab aku sendiri saja yang seorang muslim merasa gagal mendakwahi diriku sendiri dengan meyakinkan bahwa Tuhan itu ada sehingga aku hanya bisa membiarkan bapakku dalam kekafiran dan kemusyrikannya. Itu semua karena aku terlanjur benci dengan perlakuan bapakku pada ibuku. Tapi berbeda dengan kegigihan anda yang berusaha untuk memperjuangkan agama Allah. Jujur, aku salut pada anda!!” kataku.
“ Kenapa kamu nggak percaya sama Allah , deg? Bukankah kamu sendiri juga muslim, kamu berjilbab, tapi kenapa kami justru fasik terhadap agama Allah?”tanyanya penasaran.
“Dulu memang aku berjilbab karena Allah dan merupakan kewajiban, tapi lama-kelamaan aku berpikir kenapa aku tak kunjung juga menemukan Tuhanku. Sebenarnya tulisan GODISNOWHERE itu artinya” GOD IS NOW HERE” atau “GOD IS NO WHERE”?? Tuhan itu ada atau tidak?? Jangan tanyakan padaku kenapa saat ini aku masih berjilbab meski aku belum bisa menemukan Tuhanku. Sebab aku berjilbab karena aku melindungi diriku dari orang-orang jail. Lagipula aku pernah membaca koran bahwa penelitian dokter menyatakan bahwa syahwat laki-laki itu besar sehingga jika melihat bagian tubuh wanita mereka akan cenderung mudah terangsang. Itulah alasanku berjilbab saat ini!” jawabku panjang lebar.
“Pendasaranmu berjilbab cukup logis deg, tapi satu hal yang tidak dapat diterima oleh akal sehat. Kamu tidak mempercayai adanya Allah. Padahal alam semesta ini terbentuk karena pasti ada yang menciptakan. Dan yang menciptakan alam semesta ini pasti di luar ciptaannya. Ibarat orang yang membuat sebuah bolpoint. Dan didalam sebuah bolpoint itu terdapat berbagai unsur bahan yang diperlukan dalam membuat bolpoint itu. Sedangkan si pembuat atau pencipta bolpoint itu pasti akan berada diluar bolpoint ciptaannya. Nggak mungkin kan si pembuat bolpint tadi berada didalam bolpint tersebut. Begitu juga dengan Tuhan yang nggak mungkin berada di dalam alam ciptaannya dan sudah pasti tidak bisa dilihat secara kasat mata.” Jelasnya.
Panjang lebar kami berbicara sampai akhirnya waktu memisahkan kami. Karena keasyikan berdebat akhirnya aku hanya mendapat sedikit hasil pulungan.Namun secara tidak langsung aku merasa mendapat pencerahan. Sesampainya dirumah aku mencoba merenungi perkataan kakak tadi, ternyata benar apa yang diucapkannya. Selama ini aku telah salah mempersepsikan tentang eksistensi Allah. Tuhan yang menciptakannku. Yang memberiku kehidupan. Ternyata selama 15 tahun aku tidak benar-benar berislam, tidak benar-benar mengenal Tuhanku. Selama ini pula aku aku terkesan pupuk bawang dalam menjalani ibadah kepada Allah.Astaghfirullah. kalau begini caranya mana mungkin aku bisa mendakwahi bapak kalo diriku sendiri saja belum mampu tuk ku dakwahi. Semenjak kejadian itu aku mulai sadar, aku harus merencanakan hidupku dengan lebih baik dan tentunya tetap konsisten di jalan Allah.
--TAMAT--
Setiap hari, setiap pulang sekolah satu hal yang sering kutemui di rumah. Melihat bapakku tengah ngerokin perut kodok. Selain itu tiada lagi yang dilakukannya. Adapun mungkin itu merupakan suatu hal yang setali tiga uang. Sama saja. Tidak berguna dan sia-sia. Kadang bapak hanya mengganti obyek binatang yang dianiayanya dari kodok menjadi cicak. Makhluk nggak jelas berwarna ijo yang sering loncat-loncat kayak pocongan ini merupakan makhluk yang sering dijadikan bapak sebagai obyek kemusyrikan. Sedangkan sang cicak, makhluk mungil yang kata Charles Darwin merupakan makhluk yang gagal berevolusi jadi buaya ini adalah obyek pelampiasan bapak jika gagal mendapatkan wangsit nomor dari perut Sang Princess Frog. Jangan tanyakan kenapa bapakku melakukan kegilaan ini. Satu-satunya alasan adalah apalagi kalau bukan untuk mencari keberuntungan dengan harapan bisa memperoleh bayangan angka yang muncul dari balik abdomen hewan-hewan tersebut. Tepatnya “ANGKA TOGEL”.
Memang konyol kelakuan bapakku yang satu ini. Tak habis pikir kami sekeluarga dibuatnya. Kami tak menyangka bapakku yang dulu bisa dikatakan alim kini telah menjadi sesosok ayah yang matrealistis dan musyrik. Entah apa yang telah merubahnya. Kadang aku berpikir, mungkinkah ini semua terjadi karena kejadian beberapa tahun silam? Jujur kalau mengingat fenomena itu aku merasa sedikit menyesal. Kisah ini aku alami saat aku masih duduk di bangku kelas enam SD. Pada waktu itu dikampungku memang sedang trend-trend nya yang namanya “TOGEL”. Suatu ketika, kami sekeluarga sedang kongkow-kongkow sambil nonton TV di ruang keluarga. Seperti biasa bapak dan ibu jika sedang berkumpul seringkali memperdebatkan masalah perekonomian keluarga.
“Pak, sampeyan itu hla mbok ya coba cari kerjaan gitu lho.
Lihat saja pak, keuangan keluarga kita ini untuk akhir tahun ini udah mimpes.Sedangkan kebutuhan perekonomian keluarga ini kian lama semakin menjerat leher. Bayangin saja Pak, SPP Nawa udah nunggak selama 3 bulan,Pak! Apalagi tahun depan si Nawa mau masuk SMP.Pasti kita butuh biaya sangat banyak, Pak!” keluh ibuku dengan raut pilu.
“Owalah Bu-Bu, lha wong Bapak ini kan cuma lulusan SMP itupun ijazah Bapak uda hilang nggak tahu entah kemana. Pengin cari kerja apaan lagi to Bu! Jadi Bos? Atau pejabat? Mana mungkin?!! Apalagi buruh pabrik? Mereka nggak bakal nerima Bapak yang uda tua gini Bu!”
Lagi-lagi alasan nggak mutu itu yang selalu terlontar dari mulut manis Bapak. Dan itu pasti hanya dalih karena dia malas bekerja, pikirku dalam hati.
“Kerjaan kan nggak harus yang enak Pak!Nguli kek kan juga nggak apa-apa, Pak!! Yang penting ada yang buat bantu ngebiayai pendidikan anak kita. Supaya kelak dia itu bisa jadi orang sukses, nggak kayak kita yang seumur hidup cuma mlarat! Gini-gini Ibu itu sekolah cuma sampai SD, Pak! Itupun nggak sampai lulus, tapi Ibu tetep usaha gimana caranya tetap bisa mempertahankan keluarga ini,Pak. Meskipun ibu cuma sebagai tukang cuci, tapi yang penting itu cukup untuk kebutuhan makan kita sehari-hari. Kenapa Bapak nggak usaha kerja mbecak kayak dulu lagi???!! Setidaknya kalau Bapak mau ikhtiar, mungkin itu bisa sedikit mendongkrak pemenuhan kebutuhan untuk keluarga ini.”
“ Lha kan ibu tahu sendiri, Bapak ini punya penyakit asma yang rawan kambuh setiap saat!! Kalau itu asma kumat, yang repot pasti kan Ibu juga. Udah ah!! Males ndengerin Ibu ngoceh. Mendingan Bapak sholat nyenyuwun sama Gusti Allah supaya diberi rejeki!”bantah bapakku.
Bapakku pada waktu itu memang masih alim-alimnya tapi sifatnya yang pemalas dan selalu melebay-lebaykan penyakit asmanya, terkadang membuatku muak, tak terkecuali bagi Ibu.”Huh!!! suami macam apa itu, bisanya cuma nggandul sama istri”, gerutuku dalam hati. Ya cuma dalam hati sebab aku sadar betul aku ini memang masih kecil dan belum layak ikut campur masalah orang dewasa, sekalipun mereka orangtuaku sendiri.
“Gusti Allah nggak bakal nurunin hujan duit, Pak! Kalau hambanya nggak pernah mau ikhtiar!!” balas ibuku jengkel sembari meninggalkanku dan bapak menuju dapur.
Aku tahu ibu muak dengan semua sangkalan bapak. Begitu pun aku.
Selang beberapa lama kemudian, bapak mengambil secarik kertas kumal dan pulpen dari atas meja. Terlihat olehku, raut bapak yang sedang berpikir sambil sesekali menghitung-hitung sesuatu yang nggak jelas. Tiba-tiba bapak menegurku.
“Wa, berapa angka favoritmu, nduk??”
“Buat apa, Pak? Lagian kenapa Bapak tiba-tiba tanya angka kesukaanku? “ tanyaku penuh selidik.
“Sssstttsstttt, udah kamu anak kecil diam aja!Kamu tinggal ngomong aja? Siapa tahu beruntung! Toh nanti kamu juga yang seneng kalo nomornya tembus! Ini kan juga ikhtiar namanya!” paksa bapakku. Aku sama sekali belum paham maksud bapak.
Sebenarnya aku malas menanggapi pertanyaan bapak yang amat sangat tidak penting itu, tapi apa daya aku belum berani melawan bapak. Seolah budaya ngomong “ hanya yang tua yang boleh bicara” seperti iklan di TV-TV itu sudah mencemari sebagian isi otak bapakku. Apa boleh buat, aku belum mampu tuk berkutat, yang bisa kulakukan saat ini hanyalah sami’na wa atho’na, ‘ kami dengar dan kami patuh’. Akhirnya akupun asal nyeplosin tiga angka sesuka hatiku. Nggak peduli angka itu digunakan untuk apa.
“103, Pak”, jawabku singkat padat dan tak berisi
“Satu angka lagi, nduk!” pinta bapak.
“ Nggak tau ah pak!”balasku ketus seraya pergi menuju kamar.
Bapak hanya gedek-gedek melihat tingkahku dan aku tak memperdulikannya. Mungkin aku telah di judge nya sebagai anak durhaka. Bapak kembali menekuni angka-angka yang kusebutkan tadi. Selang beberapa lama dari balik pintu kamar, kudengar bapak menyebutkan kalimat final.
” 1503, yes!Bismillahirrahmanirrahiim.”
Keesokan harinya, prahara itu benar-benar datang. “2903” itu adalah nomor togel yang tembus malam itu dan ternyata dua angka terakhir dari nomor togel yang aku ceploskan, ‘03’ jadi nomor keberuntungan bapakku malam itu juga. Aku sama sekali nggak tahu kalau ternyata bapak telah menyalahgunakan angka favoritku dengan menggunakannya untuk memasang togel. Yang jelas aku merasa menyesal melakukan itu. Aku merasa turut berdosa.
Dari tembusan togel tersebut akhirnya bapak mendapat reward sebesar dua juta rupiah. Pada waktu itu nominal uang segitu sudah amat besar bagi keluarga mlarat seperti kami. Sebenarnya ibu tak mau menerima uang haram itu. Namun karena kepepet dan dipaksa bapak, akhirnya ibu dengan berat hati mau menerima uang judi yang berkedok togel itu.
Kadang aku berpikir tentang hukum cinta dan benci Allah kepada hambanya. Pada hakekatnya sikap orang yang mencintai sesuatu itu pasti akan selalu melindungi, menuruti permintaan,dan membela, sedangkan sikap seseorang yang membenci sesuatu itu akan cenderung menghancurkan dan menolak segala permintaannya. Jika Allah mencintai orang beriman, harusnya Allah itu menuruti segala permintaan hambanya dan melindunginya. Dan jika Allah membenci orang-orang kafir harusnya Allah menolak permintaannya dan menghancurkannya. Tapi pada realitasnya, kenapa Allah justru membiarkan kemusyrikan hambanya dan malah membiarkan bapakku yang kafir memperoleh rejeki dengan cara yang haram? Pertanyaaan-pertanyaan itu sering kali bergelayut di ubun-ubun kepalaku sampai-sampai aku sering meragukan eksistensi Tuhan.
Setelah hari keberuntungan itu berlalu, kian lama, bapakku semakin tuman alias kecanduan untuk terus memasang togel. Padahal ibu berulang kali mengingatkan bapak agar tidak memasang togel lagi, haram katanya. Namun wejangan ibu yang pernah diutarakan pada bapak sama sekali tak diindahkannya. Semuanya dianggap angin lalu.
“Duren-duren, roti-roti. Biyen-biyen, saiki-saiki” itulah prinsip hidup bapakku sekarang. Bahwa segala apa yang berlalu itu biarlah berlalu. Yang penting bapak enjoy dengan hidupnya yang sekarang yang penuh dengan kemusyrikan.
Satu hal yang sering membuat hatiku mangkel adalah bapak dan para tetangga selalu bertanya kepadaku tentang nomor togel yang kira-kira akan tembus pada malam-malam tersebut.
Semua orang di kampungku memang sudah gila oleh budaya mata duitan ini. Yang bisa kulakukan hanya diam seribu bahasa setiap ditanya oleh mereka. Meskipun aku harus menanggung resiko selalu dipisuhi oleh bapak. Tapi aku tetap teguh dengan pendirianku. Aku nggak mau dijadikan lagi obyek kemusyrikan bapakku. Akhirnya bapak melampiaskan kejengkelannya dengan menggantikanku dengan kodok dan cicak. Konon katanya kodok dan cicak adalah makhluk pembawa keberuntungan. Setiap malam yang dilakukan bapak hanya ngerokin perut kodok atau cicak. Namun aku bersyukur, aku akhirnya bisa terbebas tanpa mendengar lagi ocehan bapak. Beruntung bapakku tidak sampai hati mengerok perutku berharap memperoleh angka keberuntungan dariku lagi.
Tiga tahun telah berlalu, namun sindrom togel nya bapakku tak jua sirna. Sampai suatu ketika ibu harus bekerja ekstra untuk mendapatkan uang lebih agar bisa menyekolahkanku ke SMA sehingga akhirnya ibu berinisiatif untuk jualan jajanan keliling kampung tiap sore hari. Begitu besar kegigihan ibu. Dialah semangat dan motivasiku untuk terus bisa berprestasi. Aku salut dan bangga bisa mempunyai sosok ibu yang rela berkorban demi memperjuangkan kemerdekaan pendidikan anaknya. Setiap hari kedua tangan keriput ibu selalu menggotong keranjang berisi makanan. Bahkan masih ditambah lagi beban bakul berisi nasi yang harus dipikulnya dibalik punggungnya yang telah renta. Sementara itu aku membantu ibu membawakan sebuah keranjang berisi minuman yang telah dibungkus. Meskipun hujan turun deras, ibuku tetap bersikeras untuk tetap jualan. Kerja sebagai pedagang keliling tak semudah yang aku duga, berbagai penolakan seringkali terjadi. Relitas memang tak selalu sepadan dengan perjuangan.
Suatu ketika ,sepulangnya aku dan ibu dari berdagang, kami mendapati ada seseorang yang telah bertamu ke rumahku. Sepertinya aku tidak asing dengan wajah orang itu, namun tak begitu jelas karena aku hanya melihatnya dari kejauhan, sedangkan orang tersebut telah masuk ke dalam mobilnya dan pergi seketika itu juga. Karena penasaran akhirnya aku dan ibu bertanya kepada bapak, siapa gerangan yang tengah berkunjung ke rumah ini. Bapak berkata bahwa orang itu adalah pak Jemy, orang yang tidak lain dan tidak bukan adalah seorang kristiani yang sering gencar melakukan misionaris kepada rakyat miskin. Kata bapak, pak Jemy mau memberikan bapak pekerjaan dan menjamin sekolahku asalkan bapak mau masuk agama Kristen. Spontan ibu langsung menolak tawaran itu mentah-mentah dan melarang bapak untuk masuk Kristen. Sebab ibu sendiri itu adalah salah satu tokoh di kampung kami yang dipercaya oleh para tetanga untuk mengajar mengaji. Jika hal itu terjadi pasti itu akan menjadi imej buruk bagi keluarga. Bapak berusaha meyakinkan ibu tapi ibu tetap teguh dengan pendiriannya. Jujur akupun sudah pastinya menolak tawaran itu, meskipun iming-iming itu begitu menggiurkan. Namun aku sendiri saja terkadang masih meragukan tentang eksistensi Tuhan yang Esa apalagi ini harus dihadapkan dengan eksistensi Tuhan ada tiga, trinitas.
Dobelisasi kerja yang dilakukan ibu ternyata belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kian lama kian membuncah. Akhirnya aku dan ibu mencoba untuk melakukan tripelisasi kerja. Setiap pagi-pagi buta sekitar jam 3 hingga jam setengah 6 pagi, aku dan ibu selalu berbondong-bondong pergi ke kuburan. Ibarat njajah deso milangkori, berbagai kuburan sudah pernah kami jelajahi, Mulai dari kuburan Krapyak, kuburan Sunan Kuning, kuburan Berguto, dan kuburan Subali, itu semua sudah pernah kami tekuni.Jangan salah mempersepsikan apa yang kami kerjakan di kuburan tersebut dengan mengasumsikan bahwa kami akan memutilasi mayat seperti yang dilakukan Sumanto atau menganggap kami akan mengambil tali pocong dan menggunakannya sebagai pesugihan atau bahkan membongkar peti mati orang-orang Cina untuk diambil perhiasannya. Itu tak mungkin kami lakukan sebab kami ke kuburan itu hanya bermodalkan tas kresek dan sepeda ontel. Yang kami lakukan di kuburan adalah memunguti kembang-kembang kamboja itu dan menjualnya. Setiap 1 kg bunga kamboja fresh dihargai tiga ribu rupiah, sedangkan 1 kg bunga kamboja kering dihargai senilai 15 ribu rupiah.
Aku tak tahu untuk apa nantinya bunga kamboja itu akan digunakan yang penting kami bisa menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seringnya aku ikut ibu pergi ke kuburan menjadikanku bermental pemberani dalam artian tak takut dengan yang namanya dedemit dan kawan-kawannya, sebab selama disana aku dan ibu tak pernah menemui hal ghaib seperti itu. Adanya orang yang meninggal dunia dan di kubur di tempat yang kami singgahi setiap harinya justru menjadi kebahagiaan bagi kami sebab biasanya di sekitar pemakaman orang yang mati tersebut terdapat banyak berserakan gelas bekas air mineral yang akhirnya bisa kami punguti untuk dijual kembali, memang terkesan seperti bersenang-senang diatas penderitaan orang lain. Namun karena realitas hiduplah akhirnya mental pemulung kami terbentuk.
Pada hari Minggu yang cerah aku menghabiskan waktuku sampai siang hari di kuburan sendirian sebab ibu harus bekerja kembali ke rumah majikannya sekitar jam tujuh pagi. Saat itu kebetulan ada orang yang meninggal dunia dan aku akan memunguti gelas-gelas bekas air mineral itu setelah para peziarah sudah pergi meninggalkan tempat pemakaman. Sebab aku merasa canggung jika melakukan pekerjaan ini dalam keramaian. Setelah menunggu sekian lama, akhirnya mereka pergi. Hanya seorang saja yang masih tersisa disana. Seorang pria muda yang tengah duduk disamping nisan yang bertuliskan”Sudarman”. Nampaknya dia tengah merenungi kematian orang yang telah dikubur itu dengan sesekali meneteskan air mata. Entah apa yang ada dibenaknya saat itu. Sementara itu aku yang sedari tadi mengamati orang tersebut dari jarak 2 meter, gelisah sendiri karena hari mulai sore sedangkan orang itu tak kunjung pergi. Akhirnya kuberanikan diriku untuk meminta ijin padanya.
“Assalamu’alaikum, ehhm kak maaf sebelumnya. Begini, ehhmm bolehkah saya memunguti gelas-gelas bekas dan bunga kamboja disini??”tanyaku ragu.
“Walaikumsalam deg, silahkan saja. Asalkan jangan kau punguti pula bunga mawar melati yang ditaburkan dimakam kakakku ini.” Jawabnya sambil tersenyum
“Oowh, makasih ya kak. Eehhm, kalo boleh saya ngasih saran sebaiknya kakak jangan larut dalam kesedihan ini. Toh ini semua kan udah jadi sunatullahnya hidup. Orang yang hidup pasti akan mati”, sarankan dengan sedikit menggurui
“ Aku tidak sedang larut dengan kesedihan ini namun aku hanya mencoba menghayati tentang makna kematian, ternyata orang yang sudah mati itu pasti tidak bisa melakukan apa-apa lagi dan sudah tak bisa beramal dan bertobat. Aku merasa sedih karena aku merasa gagal menyelamatkan kakakku yang terkena arus kristenisasi akibat virus cinta. Padahal aku telah berulang kali berusaha mengingatkan dan mencoba menunjukkan kebenaran Islam kepada kakakku itu. Sampai akhirnya dia meninggal karena kecelakaan sebelum ia menerima kebenaran itu”, jawabnya putus asa.
“Jujur aku merasa salut dengan Anda kak, sebab aku sendiri saja yang seorang muslim merasa gagal mendakwahi diriku sendiri dengan meyakinkan bahwa Tuhan itu ada sehingga aku hanya bisa membiarkan bapakku dalam kekafiran dan kemusyrikannya. Itu semua karena aku terlanjur benci dengan perlakuan bapakku pada ibuku. Tapi berbeda dengan kegigihan anda yang berusaha untuk memperjuangkan agama Allah. Jujur, aku salut pada anda!!” kataku.
“ Kenapa kamu nggak percaya sama Allah , deg? Bukankah kamu sendiri juga muslim, kamu berjilbab, tapi kenapa kami justru fasik terhadap agama Allah?”tanyanya penasaran.
“Dulu memang aku berjilbab karena Allah dan merupakan kewajiban, tapi lama-kelamaan aku berpikir kenapa aku tak kunjung juga menemukan Tuhanku. Sebenarnya tulisan GODISNOWHERE itu artinya” GOD IS NOW HERE” atau “GOD IS NO WHERE”?? Tuhan itu ada atau tidak?? Jangan tanyakan padaku kenapa saat ini aku masih berjilbab meski aku belum bisa menemukan Tuhanku. Sebab aku berjilbab karena aku melindungi diriku dari orang-orang jail. Lagipula aku pernah membaca koran bahwa penelitian dokter menyatakan bahwa syahwat laki-laki itu besar sehingga jika melihat bagian tubuh wanita mereka akan cenderung mudah terangsang. Itulah alasanku berjilbab saat ini!” jawabku panjang lebar.
“Pendasaranmu berjilbab cukup logis deg, tapi satu hal yang tidak dapat diterima oleh akal sehat. Kamu tidak mempercayai adanya Allah. Padahal alam semesta ini terbentuk karena pasti ada yang menciptakan. Dan yang menciptakan alam semesta ini pasti di luar ciptaannya. Ibarat orang yang membuat sebuah bolpoint. Dan didalam sebuah bolpoint itu terdapat berbagai unsur bahan yang diperlukan dalam membuat bolpoint itu. Sedangkan si pembuat atau pencipta bolpoint itu pasti akan berada diluar bolpoint ciptaannya. Nggak mungkin kan si pembuat bolpint tadi berada didalam bolpint tersebut. Begitu juga dengan Tuhan yang nggak mungkin berada di dalam alam ciptaannya dan sudah pasti tidak bisa dilihat secara kasat mata.” Jelasnya.
Panjang lebar kami berbicara sampai akhirnya waktu memisahkan kami. Karena keasyikan berdebat akhirnya aku hanya mendapat sedikit hasil pulungan.Namun secara tidak langsung aku merasa mendapat pencerahan. Sesampainya dirumah aku mencoba merenungi perkataan kakak tadi, ternyata benar apa yang diucapkannya. Selama ini aku telah salah mempersepsikan tentang eksistensi Allah. Tuhan yang menciptakannku. Yang memberiku kehidupan. Ternyata selama 15 tahun aku tidak benar-benar berislam, tidak benar-benar mengenal Tuhanku. Selama ini pula aku aku terkesan pupuk bawang dalam menjalani ibadah kepada Allah.Astaghfirullah. kalau begini caranya mana mungkin aku bisa mendakwahi bapak kalo diriku sendiri saja belum mampu tuk ku dakwahi. Semenjak kejadian itu aku mulai sadar, aku harus merencanakan hidupku dengan lebih baik dan tentunya tetap konsisten di jalan Allah.
--TAMAT--
0 tanggapan, kritik, saran, serta komentar.:
Post a Comment