Negeriku sayang Indonesiaku malang. Setidaknya itulah kata yang paling tepat diucapkan untuk Indonesia mengingat banyaknya berbagai krisis yang melanda negara kita sebagai akibat adanya kasus korupsi. Kejahatan terstruktur yang dibuat oleh kaum pejabat dan elite politik ini telah sukses mencetak Indonesia sebagai negara terkorup pertama se-Asia Pasifik berdasarkan PERC (Political and Economic Risk Consultancy) tahun 2002, dengan kisaran skor 9,92 poin dan pada tahun 2010 pun Indonesia masih tetap eksis mempertahankan prestasi buruknya itu sebagai juara terbaik.
Ya, negara Indonesia memang telah tercabik dan terinfeksi virus korupsi yang mencapai stadium mengkhawatirkan. Apalagi kondisi ini diperparah dengan sistem peradilan Indonesia yang bisa dibeli. Bahkan PERC menyimpulkan bahwa korupsi di Indonesia disebut sebagai suatu yang sudah mewabah.Istilah korupsi memang telah dikenal luas oleh masyarakat kalangan atas maupun menengah ke bawah, namun definisi korupsi cenderung bersifat relatif. Dari sudut pandang hukum, korupsi (berasal dari bahasa latin corruptio, dari kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok) mencakup unsur-unsur melanggar hukum yang berlaku, penyalahgunaan wewenang, merugikan negara dan memperkaya pribadi atau diri sendiri. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik baik politikus atau pegawai negeri yang secara tidak wajar dan legal memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepadanya. Sedangkan dalam UU No. 20 th 2001, korupsi adalah tindakan melanggar hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara.
Apapun definisinya, korupsi tetaplah korupsi. Kejahatan yang mengakibatkan krisis multi dimensi ini sebenarnya bukan hanya menyangkut perilaku, tetapi juga pola pikir. Kultur materialisme atau bahasa kerennya biasa disebut dengan budaya mata duitan ini memang sudah meracuni kerja otak besar para koruptor. Itu semua akibat pola pikir yang salah sehingga mereka cenderung tidak peka membedakan mana yang baik dan yang buruk. Mana yang halal dan haram. Bagi mereka, korupsi seolah dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Mayoritas dari mereka beranggapan bahwa korupsi yang dilakukan itu dengan dalih ketidakcukupan pendapatan. Padahal kalau diperhitungkan secara rasio, kebanyakan yang sering melakukan praktik korupsi adalah kalangan pejabat-pejabat tinggi yang otomatis juga menempati kedudukan yang tinggi pula. Padahal semakin tinggi kedudukan atau jabatan seseorang maka semakin besar pula probabilitas tingkat korupsinya. Jadi permasalahan utama korupsi bukan karena ketidakcukupan pendapatan, tetapi karena keserakahan yang sistemik.
Ekstrimnya, praktik korupsi yang bermoduskan penyelundupan, penyelewengan, suap-suapan malah dijadikan wahana empuk untuk sumber mata pencaharian. Tidak hanya dikalangan elite politik, korupsi juga telah menggurita di instansi-instansi kecil lainnya bahkan membudaya dalam kehidupan masyarakat. Mulai dari tingkat RT sampai dengan pemerintah pusat. Baik itu sektor negara maupun non negara.
Bukankah ini bukti bahwa moralitas bangsa kita memang sudah bobrok?
Memang tak bisa dipungkiri bahwa godaan segempol duit gambar Soekarno Hatta bagi segelintir orang bisa menyebabkan mata ijo seseorang menjadi terangsang. Uang memang penting. Tanpa uang kita pasti akan mati karena kebutuhan yang tak tercukupi. Dan itu sudah menjadi sunatullahnya hidup. Apalagi demi uang para pemimpin bangsa justru mengabaikan kemaslahatan umat. Toh mati pun tidak membawa uang kan? Bagi mereka kaya itu adalah jaminan masuk surga. Karena dengan menjadi kaya mereka akhirnya bisa mendermakan uang hasil korupsinya itu kepada kaum awam. Sehingga dengan begitu Tuhan pasti mengampuni dosa mereka. Pemahaman yang seakan mengakali Tuhan ini sering kali menjadi pijakan kaum beragama di Indonesia untuk melakukan korup.
Julukan tikus berdasi yang disandangkan oleh masyarakat kepada para koruptor itu seolah menjadi sesuatu yang pantas. Kenapa tikus? Karena tikus itu suka sekali menggerogoti apa saja yang ada di dekatnya yang mereka anggap mengenyangkan. Tak peduli hal itu merugikan orang lain atau tidak. Begitu pula dengan koruptor-koruptor itu, mereka sangat gemar menggerogoti uang rakyat tanpa memperhatikan kepentingan umat.
Perilaku korupsi memang sudah selayaknya diberantas sampai ke akar-akarnya. Namun hukum di Indonesia seolah telah mandul dibuatnya. Penanganan kasus korupsi yang dilakukan pemerintah terkesan masih lamban dan cenderung jalan di tempat. Penegakan hukum yang dilakukan tidaklah sebesar semangat para mafia-mafia yang melakukan korupsi. Pelaku tindak pidana korupsi tidaklah berdiri sendiri melainkan bersama-sama. Kasus korupsi yang dilakukan oleh elite politik menjadikan partai sebagai instrumen, sehingga kasus korupsi sulit diselesaikan secara cepat. Apalagi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan ICW, menyatakan bahwa permainan mafia-mafia korupsi ini dibungkus oleh sejumlah regulasi-regulasi yang dikeluarkan oleh oknum-oknum dengan modus tertentu. Modus-modus tersebut dijalankan secara bertingkat sesuai dengan kewenangan masing-masing pelaku yang terkait. Kejahatan seperti ini memang telah terstruktur dan terorganisir
dengan sangat rapinya. Dalam menguak tabir kejahatan ini, ibaratnya seperti mencari semut hitam di atas batu yang berwarna hitam di tengah kegelapan malam. Akibatnya kasus ini sulit diraba oleh hukum.
Jadi apabila ada seorang pelaku korup yang divonis bersalah, maka pelaku lainnya akan mudah diusut. Namun hal itu tidak terjadi. Aparat hukum selalu berhenti dan tidak melakukan pengusutan lebih lanjut. Misalnya adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan mantan Bupati Pelalawan Provinsi Riau, T Azmun Jafar dalam pemberian izin Hutan Tanaman Industri (HTI). Namun kasus korupsi yang sudah jelas buktinya tersebut tidak segera ditindaklanjuti. Karena si pembuat aturan tidak konsisten dalam mengimplementasikannya. Ditambah lagi aparat penegak hukum yang terjebak dalam penanganan kasus-kasus kecil yang muncul akibat pertarungan politik. Contoh lain misalnya, kasus Bank Century yang hingga saat ini tak rampung-rampung juga. Disamping itu ada pula kasus Pemilu, ongkos politik untuk bersaing memperebutkan kursi tertinggi dalam pemerintahan memang sangat mahal dan tidak sebanding dengan gaji serta tunjangan resmi yang akan diterima ketika menjabat. Apabila yang terpilih ingin balik modal, maka kemungkinan nantinya akan muncul regulasi-regulasi baru sebagai pembungkus mafia-mafia politik dan hukum yang merupakan induknya para koruptor.
Eksistensi korupsi akan memunculkan berbagai dampak yang berbuntut panjang, seperti runtuhnya akhlak atau disintegrasi moral dan religiusitas bangsa, memburuknya perekonomian negara, matinya etos kerja masyarakat, terjadinya eksploitasi SDA oleh segelintir orang, ketimpangan sosial dan hancurnya sendi-sendi tatanan kehidupan masyarakat bahkan membahayakan keutuhan bangsa.
Inilah musibah dari pelaksanaan demokrasi yang masih dalam taraf kulitnya dan belum pada substansinya. Oleh karena itu diperlukan adanya seorang patriot (pecinta tanah air) yang pantas untuk memimpin Indonesia. Patriot yang pantas secara mental maupun moral. Dan tentunya patriot yang terbebas dari korupsi.
Perlu disadari bahwa menjadi patriot yang baik dan anti korupsi itu memang tidak mudah, namun ada cara yang tidak mempersulitnya. Patriot itu selalu berorientasi memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negaranya.. Untuk mencapai semua itu tidak bisa dilakukan secara langsung maupun secara parsial-parsial tetapi harus secara bertahap dan utuh dengan melalui penanaman nilai sedini mungkin.
nb : artikel yg saya buat ini adalah menurut pandangan objektifitas saya ya mskipun tdk mnutup kmungkinan adanya unsur subjektifitas, namun semoga bisa bermanfaat :))
Dikirim ke Saonone's Online Notes pada Minggu, 14 Agustus 2011 17:10
Author : Yenita Tri Risqi Handayani
comment dulu baru baca (2011) .... he he ..... makasih postinganny gan .... maen2 ke
ReplyDeletehttp://majupendidikanindonesia.blogspot.com/