Wednesday, June 15, 2011

Penyakit yang diakibatkan oleh Cacing Hati ( Fasciola Hepatica )

6/15/2011 11:29:00 AM

1. KOKSIDIOSIS
Koksidiosis merupakan penyakit parasit pada berbagai jenis hewan yang ditandai dengan kekurusan dan diare.
Etiologi
Koksidiosis disebabkan oleh Eimeria sp. Pada kambing dan domba ada 10 spesies, yang dikenal adalah Eimeria ninaakohlyakimovae dan Eimeria ovina. Morfologi dari Eimeria sp berukuran 15-40 x 10-30 um dan oosit mengandung 4 sporozoit.Siklus Hidup
Oosit mengalami sporolasi di dalam lingkungan dan menjadi infektif. Sporulasi memerlukan lingkungan yang hangat dan basah. Dua sporozoit mengandung sporosit. Setelah ditelan oleh hospes, dinding sel epitel dari ileum, sekum atau kolon. Stadium pertama disebut schizogony mengalami pembelahan asexual. Mikrogamet dan makrogamet mengadakan fusi menghasilkan oosit, suatu bentuk tersifat yang dapat menyesuaikan dalam ketahanan dan penyebaran dalam lingkungan di sekitarnya. Periode absorpsi dari oosit yang infektif dengan ekskresi dari oosit yang baru adalah bervariasi diantara spesies, biasanya antara 5-6 dan 16-20 hari.
Epidemiologi
Distribusi Geografis
Koksidiosis tersebar luas di manca nagara. Di Indonesia tersebar hampir di seluruh daerah dan bersifat endemik.
Hewan Terserang
Koksidiosis menyerang berbagai jenis hewan. Yang paling peka adalah kelompok umur muda (lebih dari 14 hari), jarang pada yang dewasa dan anak yang masih menyusui.

Gejala Klinis
Masa inkubasi penyakit 3-18 hari, ditandai dengan diare. Pada kasus berat hewan mengalami diare dengan tinja bercampur darah, selanjutnya hewan dehidrasi, berat badan turun dan anemia. Gejala syaraf dapat muncul ditandai dengan paresis dan kelumpuhan anggota gerak.
Pencegahan dan Pemberantasan
Hewan sakit dipisah dan diberikan terapi preparat sulfa setiap hari selama 3-4 hari. Dapat pula diberikan preparat sulfa yang dicampur dengan antibiotik, vitamin dan mineral seperti campuran sulfadiazine, sulfadimidin, neomisin, metoskopolamin, tiamin dan riboflavin.
Hewan yang menderita koksidiosis berat dapat diberikan pengobatan antishock dengan menyuntikkan kortikosteroid melalui intravena.
2. TOXOPLASMOSIS
Toxoplasmosis merupakan penyakit parasit yang menyerang kambing, domba, sapi yang ditandai dengan abortus dan hilangnya neonatal.
Penyakit ini juga bersifat zoonosa.
Etiologi
Toxoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Oosit T. gondii strukturnya sama dengan Hammondia hammondi dan Hammondia heydorni.
Epidemiologi
Distribusi Geografis
Penyakit ini tersebar luas di beberapa negara, seperti New Zealand, Inggris, Amerika Serikat dan Australia (New South Wales, Victoria dan Tasmania).
Hewan Terserang
Toxoplasma gondii menyerang semua hewan berdarah panas, sedangkan Hammondia hammondi hospesnya terbatas menyerang babi, kelinci, marmut, tikus, mencit dan hewan primate lainnya. Hammondia heydorni menyerang sapi, kerbau, kambing, domba dan tikus.
Cara Penularan
Parasit ditularkan karena daging yang tidak dimasak dengan baik atau makanan yang tercemar tinja kucing, tikus atau hewan lain yang tertular atau penularan congenital dari induk kepada fetus.
Gejala Klinis
Kambing terserang ditandai dengan gejala demam (40-41°C), abortus dapat terjadi pada semua stadium kebuntingan, lahir dini, mummifikasi fetus dan kematian fetus saat dilahirkan.
Pada infeksi percobaan, kambing yang diinfeksi dengan 10.000 sampai 100.000 oosit gondii strain GT-1 infektif melalui per oral memperlihatkan gejala demam (40-42°C) pada hari ke-3 dan ke-5 pascainfeksi, gejala demam berlangsung 5-10 hari. Kambing terlihat lesu, lemah dan diare yang dapat berlangsung selama 7-15 hari, sesak nafas terjadi 4-12 hari setelah infeksi dan diikuti dengan kematian terutama kambing yang disuntik oosit dengan dosis tinggi (10.000 atau 100.000 oosit). Domba bunting yang terinfeksi ditandai dengan abortus, lahir dini atau mati saat lahir.
Diagnosa
Penyakit ini dapat didiagnosa berdasarkan pemeriksaan mikroskopis sediaan ulas darah dengan menemukan Toxoplasma. Pada hewan yang mati dengan menemukan parasit melalui pemeriksaan mikroskopis langsung atau dengan cara transmisi pada hewan percobaan. Antibodi dapat dideteksi 2 hari setelah hewan abortus, dengan menggunakan uji hemaglutinasi indirek, PCR untuk mengamplifasi sekuen DNA spesifik. Produk amplifasi dianalisis dengan uji electrophoresis.
DNA Toxoplasma dalam jaringan telah dideteksi seperti dalam cairan peritoneal, jaringan otak, kotiledon dan amnion/korion.
Diagnosa Banding
Hewan terserang Toxoplasmosis memperlihatkan gejala klinis yang sangat mirip dengan infeksi jamur (Kriptokokkus, Histoplasma) atau Leishmania.
Pencegahan dan Pemberantasan
Hewan yang sakit dipisah dengan yang sehat. Selalu menjaga kebersihan kandang, tempat makanan atau minuman hewan supaya tidak tercemar tinja kucing atau tikus.
3. FASCIOLIASIS
Nama lain: Distomatosis. Merupakan penyakit parasit yang menyerang semua jenis ternak. Kerugian yang ditimbulkannya cukup besar, yaitu penurunan berat badan hewan terserang.
Etiologi
Fascioliasis disebabkan oleh Fasciola hepatica. Cacing ini berukuran 20-30 mm x 10 mm dan telur cacing berbentuk bulat lonjong dengan dinding tipis yang mengandung massa moruler yang dibentuk dari sel yang mengelilingi zigot. Telur cacing mempunyai operculum pada salah satu ujung telur, warna kekuningan dan mempunyai ukuran 130-150 x 80 um.
Siklus Hidup
Satu ekor cacing dapat menghasilkan 3000 telur per hari. Telur-telur dikeluarkan ke dalam empedu dan tinja. Telur kemudian menempel pada rumput dan selanjutnya pada kondisi yang sesuai telur-telur tersebut menetas menjadi larva atau miracidium.
Miracidium masuk ke tubuh hospes perantara seperti siput air dari genus Lymnaea. Larva berkembang jika telur cacing jatuh ke dalam air kolam dengan cukup oksigen. Miracidium yang ditetaskan kemudian masuk ke dalam tubuh siput air. Tiap miracidium di dalam hepato-pankreas, larva mengadakan proliferasi dengan cara poliembrioni menjadi sporosit (larva stadium kedua) dan dari permukaan dalam setiap sporosit mengadakan pembelahan menjadi 6 rediae (larva stadium ketiga).
Pada kondisi yang sesuai pula maka rediae kemudian meninggalkan sporosit dan berubah menjadi cercaria (larva stadium akhir). Cercaria ini merupakan cacing hati muda, tetapi tidak infektif dan pada kondisi lingkungan luar yang sesuai akan berubah menjadi metacercaria yang dapat hidup dalam kolam atau tempat-tempat yang sesuai lainnya selama 9 bulan. Infestasi terjadi jika metacercaria tertelan dan masuk ke duodenum.
Cacing muda ini dapat menembus dinding usus dan menyeberang ke dalam ruangan peritoneal, menempel dan menghisap darah dan selanjutnya masuk ke hati. Di dalam saluran empedu menjadi cacing dewasa selama 2-3 bulan.
Epidemiologi
Distribusi Geografis
Penyakit ini ditemukan tersebar di dunia. Di Indonesia ditemukan hampir di seluruh daerah, terutama di daerah yang basah.
Morbiditas dan Mortalitas
Tingkat morbiditas dilaporkan 50-75 %, rata-rata 30 %.
Gejala Klinis
Hewan terserang ditandai dengan nafsu makan turun, kurus, oedema submandibula (bottle jaw), selaput lendir mata pucat dan diare.
Diagnosa
Penyakit ini dapat didiagnosa berdasarkan pemeriksaan mikroskopis dari tinja dan patologis jaringan terserang.
Diagnosa Banding
Pada kasus fascioliasis akut sering kali sulit dibedakan dengan infectious necrotic hepatitis karena lesinya sangat kecil, oleh karena itu diperlukan pemeriksaan histopatologis. Kerusakan hati yang hebat dapat dikelirukan dengan haemonchiasis, eperythrozoonosis, anthrax dan enterotoxaemia.
Pencegahan dan Pemberantasan
Hewan terserang dapat diobati dengan carbon tetrachloride (1 ml/9 kg bb). Obat ini dilaporkan efektif terhadap cacing fasciola dewasa. Obat lain yang dapat digunakan adalah heksakloretan, heksaklorofan, rafoxamide, niklofolan, bromsalan yang disuntikkan di bawah kulit.
Kandang harus dijaga tetap bersih dan kandang sebaiknya tidak dekat kolam atau selokan. Siput-siput di sekitar kandang dimusnahkan untuk memeutus siklus hidup Fasciola.
4. OESOPHAGOSTOMIASIS
Oesophagustomiasis merupakan penyakit parasit cacing gastrointestinal, menyerang semua hewan yang ditandai dengan kekurusan dan nodul nekrotik pada usus.
Etiologi
Oesophagustomiasis pada kambing dan domba disebabkan oleh Oesophagustomum columbianum, Oesophagustomum venulosum dan Oesophagustomum asperum.
Siklus Hidup
Telur dilepaskan ke dalam tinja, setelah menetas menjadi larva (stadium ketiga), di bawah kondisi yang sesuai larva tertelan oleh hospes kemudian masuk melalui dinding usus halus dan berada selama 5 hari. Larva kemudian masuk ke dalam lumen usus dan menuju usus besar, selanjutnya menjadi cacing dewasa.
Larva dapat persisten di dalam dinding usus, membentuk nodul dan hidup di dalam selama satu tahun. Jika kondisi tubuh hospes menurun akibat rendahnya nutrisi maka larva akan meninggalkan nodul masuk ke dalam lumen usus dan menuju kolon sampai menjadi cacing dewasa. Cacing menempel pada selaput lendir kolon dan bertelur.
Epidemiologi
Distribusi Geografis
Oesophagustomiasis tersebar luas di dunia, termasuk di Indonesia.
Hewan Terserang
Semua jenis hewan dapat menderita Oesophagostomiasis. Pada kambing dan domba dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi yang paling peka adalah yang umur muda.
Gejala Klinis
Kambing dan domba yang terserang ditandai dengan tinja yang lunak dan dilapisi oleh lendir, kadang-kadang ada bercak darah. Kondisi tubuh cepat merosot, gerakan kaki kaku, ekor dilengkungkan.
Diagnosa
Diagnosa definitif dari Oesophagostomiasis dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan patologis dan identifikasi larva cacing dari kultur tinja.
Diagnosa Banding
Oesophagostomiasis sering dikelirukan dengan Trichostrongylosis.
Pencegahan dan Pemberantasan
Hewan terserang dipisah dan diobati dengan thiabendazole (44 mg/kg bb), levamizole, dichlorvos, perbendazole (20 mg/kg bb), pyrantel tartrate (22 mg/kg bb), febendazole (5 mg/kg bb), cambendazole (20 mg/kg bb).
5. THEILERIOSIS
Theileriosis adalah penyakit darah akut dan menahun yang disertai demam, diare berdarah dan pembengkakan kelenjar-kelenjar limfe. Parasit-parasit yang menyebabkannya berkembang biak di dalam sel-sel susunan limfe. Di dalam sel ini terbentuk yang dinamakan plasma Koch.
Etiologi
Theileriosis disebabkan oleh parasit Theileria sp dari famili Theileridae. Pada kambing dan domba ada 2 penyebab Theileriosis yaitu Theileria hirci dan Theileria ovis.
Theileria hirci sangat pathogen dan menimbulkan gejala klinis dan patologi anatomi yang sangat menyerupai East Coast Fever. Theileria ovis bersifat hanya sedikit pathogen dengan bola-bola Koch yang terbentuk sedikit.
Kedua jenis Theileria ini dipindahkan oleh caplak jenis Rhipicephalus.
Epidemiologi
Distribusi Geografis
Penyakit ini tersebar secara luas di daerah-daerah panas (Afrika beriklim sedang, Eropa Selatan, dan Asia). Di Indonesia juga penyakit ini ditemukan.
Hewan terserang
Penyakit ini menyerang kambing dan domba, sapi. Selain itu infeksi theileriosis pernah didiagnosa pada antilop, kuda, bison dan kerbau Afrika dan India.
Cara Penularan
Penyakit ini ditularkan oleh perantaraan vektor caplak jenis Rhipicephalus. Infeksi terjadi oleh sporozoit-sporozoit yang dipindahkan oleh air liur caplak dewasa. Dalam darah sporozoit-sporozoit ini memasuki limfosit-limfosit dan sel-sel endotel kemudian berkembang biak dengan cara membelah. Hal ini menghasilkan bola-bola plasma Koch.
Gejala Klinis
Masa inkubasi penyakit berlangsung kira-kira 2 minggu. Demam yang tinggi terus menerus yang disertai gejala klinis umum (kesulitan bernafas, kekeurusan, kelemahan tubuh belakang) menyerupai gejala penyakit protozoa darah lainnya. Perbedaannya yaitu bahwa pada Theileriosis pembengkakan kelenjar-kelenjar limfe sub kutan sangat menyolok. Anemia sering tidak jelas, ikterus dan hemoglobinuria kadang-kadang terlihat.
Diagnosa
Diagnosa klinis sering kulit. Hewan harus dicurigai bila kelenjar-kelenjar limfe sub kutan membengkak. Diagnosa histopatologis dapat ditegakkan apabila bola-bola plasma Koch ditemukan.
Yang sangat dianjurkan untuk menegakkan diagnosa adalah dengan melakukan fungtie limfe atau kelenjar limfe pada hewan hidup (pada kelenjar limfe preskapuler atau limfe yang biasanya diantara tulang rusuk 11 dan 12 stinggi tuber coxae) ditusuk dengan jarum suntik tebal, kemudian sedikit material dihirup dan diwarnai dengan Giemsa.
6. HAEMONCHIASIS
Haemonchiasis merupakan penyakit parasit yang disebabkan oleh infeksi cacing lambung Haemonchus contortus yang biasanya terlihat pada kambing dan domba, yang ditandai dengan kekurusan, anemia berat dan oedema dimana-mana.
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan cukup besar karena dapat menyebabkan penurunan berat badan dan produksi serta pada kasus berat dapat menyebabkan kematian.
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Haemonchus contortus. Cacing ini hidup dalam selaput lendir lambung, stadium larva ke 4 dan 5, cacing dewasa menghisap darah hospes dan menyebabkan gastritis katharal ringan.
Cacing betina berukuran panjang 2-3 cm dan jantan lebih pendek kira-kira 1 cm. yang betina mempunyai flap anterior yang merupakan bangunan untuk menutup permukaan vulvanya. Flap interior ini mempunyai 3 bentuk, yaitu linguiform, knob dan bentuk halus.
Epidemiologi
Distribusi Geografis
Haemonchiasis tersebar luas di beberapa negara terutama di daerah peternakan kambing atau intensif dengan kondisi daerah yang lembab dan panas.
Hewan Terserang
Penyakit ini menyerang semua hewan ruminansia. Kambing dan domba sangat peka terhadap penyakit ini.
Morbiditas dan mortalitas
Perbandingan jumlah cacing jantan dengan betina bervariasi.
Gejala Klinis
Hewan terinfeksi haemonchiasis ditandai dengan kekurusan, anemia berat dan oedema dimana-mana. Pada infestasi berat dapat menyebabkan kematian. Kematian diakibatkan karena kegagalan sistem hemapoietik.
Diagnosa
Penyakit ini dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan parasit cacing dalam abomasum. Selaput lendir dikerok kemudian ditampung dalam piring yang berdasar hitam dan berisi sedikit air. Dengan demikian cacing-cacing lebih mudah terlihat. Disamping itu telah dikembangkan Blood Gastrin Assay, untuk mengetahui level gastrin dan pepsinogen dalam lambung.
Pencegahan dan Pemberantasan
Penyakit ini dapat diobati dengan pemberian obat cacing, seperti benzimidazole dan cambendazole (20 mg/kg bb), ivermectin, oxfendazole, levamizole, nitroxynil.
7. SCABIES
Nama lain: Penyakit Kudis. Scabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh parasit tungau kudis.
Etiologi
Scabies disebabkan oleh tungau kudis Sarcoptes scabiei.
Epidemiologi
Distribusi Geografis
Penyakit ini tersebar luas di dunia. Di Indonesia penyakit ini merupakan penyakit endemis yang terutama menyerang kambing, dan sangat merugikan secara ekonomis karena dapat menurunkan berat badan ternak sampai 30 %, penurunan kualitas kulit dan daging dan harga jual yang rendah.
Hewan Terserang
Scabies dapat menyerang berbagai jenis hewan, terutama kambing dan domba. Dapat juga menyerang sapi, kuda dan manusia (penyakit termasuk zoonosis). Tungau kudis menyerang kulit dan hidup dengan menghisap cairan tubuh induk semang yang ditumpanginya.
Cara Penularan
Penyakit ini dapat ditularkan melalui kontak langsung antara hewan yang sakit dengan yang sehat. Selain itu penularan dapat melalui benda-benda yang tercemar bibit penyakit, seperti peralatan kandang, lantai dan dinding kandang, pakan, alat angkut, dan manusia.
Gejala Klinis
Tanda-tanda penyakit pada hewan terserang adalah adanya bintik-bintik berwarna merah pada kulit, gatal-gatal yang ditandai dengan ternak menggosok-gosokkan tubuh/bagian yang terserang, kulit tampak kasar, kering, bulu rontok, keriput dan menebal.
Bagian yang terserang biasanya daerah mulut/moncong, telinga, leher, dada, perut, pangkal ekor, sepanjang punggung dan kaki.
Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis dengan pengambilan spesimen tungau penyebab.
Perlakuan pemotongan Hewan
Hewan yang menderita scabies boleh dipotong dan dagingnya dapat dikonsumsi sepanjang mutunya masih bisa dipertanggungjawabkan. Kulitnya dibakar/dimusnahkan.
Pencegahan dan pemberantasan
Tindakan pencegahan adalah dengan selalu menjaga kebersihan kandang dan peralatan serta lingkungan sekitarnya. Bila ada ternak yang terserang hendaknya dipisahkan dari yang sehat.
Pengobatan dapat dilakukan dengan mengolesi kulit yang luka dengan Benzoas Bensilikus 10 %, penyuntikan dengan Avermectin dosis 200 mg/kg berat badan seminggu sekali selama 4 minggu, penyuntikan subkutan dengan Ivomec atau Dectomec 0,5 persen.

sumber

Diposting oleh

Berbagi informasi untuk semua. Internet, desain grafis, software dan lain sebagainya. Semuanya bebas untuk dinikmati disini. Jangan lupa tinggalkan komentar agar blog ini semakin maju dan tetap hidup. Terima kasih.

1 tanggapan, kritik, saran, serta komentar.:

  1. materinya cukup lengkap tapi sebaiknya dibuat semenarik mungkin, agar pembaca tidak bosan membacanya

    ReplyDelete


 

© 2014 Saonone's. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top